Ke Mana Politik Pertanian Kita? (Refleksi Hari Pangan Sedunia ke 35)

0
22323
????????????????????????????????????
????????????????????????????????????
Agus Suyanto, STP, MSi

Setiap tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS) oleh badan pangan dunia Food and Agriculture Organization (FAO) melalui Resolusi PBB No. 1/1979 di Roma Italia. Tema yang diangkat World Food Day pada tahun 2015 ini adalah  Social Protection and Agriculture: Breaking the Cycle of Rural Poverty (Perlindungan sosial dan pertanian: memutus rantai kemiskinan pedesaan). Dengan tema ini FAO hendak mengingatkan kepada semua pihak untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap kebutuhan masyarakat miskin di pedesaan dan memberikan jaminan akses terhadap barang dan jasa yang dapat membantu mengubah nasib mereka.

Indonesia sebagai negara berkembang tentu menjadi salah satu sasaran dari tema tersebut. Pemerintah Indonesia di HPS 35 ini mengambil tema, “Pemberdayaan Petani Sebagai Penggerak Ekonomi Menuju Kedaulatan Pangan”. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain : Pertama, dari sisi jumlah, potensi petani sangat besar untuk menggerakkan ekonomi Indonesia agar dapat berdaulat pangan; kedua, pemberdayaan petani terus dilakukan secara berkesinambungan agar keunggulan komparatif dari petani dapat bermetamorfosis menjadi keunggulan kompetitif. Ketiga, Keunggulan kompetitif yang dimiliki petani akan meningkatkan daya saing petani di tataran internasional sehingga mampu menyediakan beraneka ragam pangan dari sumberdaya lokal (Kementrian Pertanian, 2015).

hps
Pamflet Hari Pangan Sedunia 2015

Tantangan pembangunan sektor pertanian diakui memang berat jika dilihat dari sumbangan sektor ini pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 15 persen, sementara sektor pertanian menyerap tenaga kerja terbesar dengan persentase 34,6 persen dari jumlah tenaga kerja. Hal ini tentu berkorelasi terhadap kesejahteraan petani sehingga dapat disimpulkan tingkat kesejahteraan petani sangat rendah. Kemiskinan masih menjadi momok dan tantangan berat bagi pemerintah, mengingat 27,73 juta jiwa atau sekitar 10,96 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2014).

Pembangunan pertanian memang layak diperhatikan mengingat posisi strategisnya. Mengutif pendapatnya Gillis et al (1992), dalam  Economics of Development, sektor pertanian memainkan peranan penting dalam perekonomian di negara berkembang. Ada beberapa peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi antara lain 1) sebagai penyedia pangan, 2) sebagai sumber tenaga kerja bagi sektor perekonomian lain, 3) sebagai sumber kapital bagi pertumbuhan ekonomi  modern khususnya dalam tahap awal pembangunan, 4) sebagai sumber devisa dan 5) masyarakat pedesaan merupakan pasar bagi produk yang dihasilkan dari sektor industri di perkotaan.

Singkatnya pembangunan sektor pertanian tidak boleh diabaikan, disamping tenaga kerja terbesar terserap di sektor ini, juga perannya yang sangat strategis yang bisa menjadi penggerak bagi sektor-sektor yang lain (multiplier effect). Justru sektor ini harus di-push dengan menjadikan pertanian  dalam arti luas yang meliputi tanamanan pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan, sebagai focus prioritas pembangunan.

Pembangunan Pertanian harus dipandang sebagai suatu sistem agribisnis yang komperehensif dari suatu sub sistem input, proses, dan output. Sub sistem input  meliputi penyediaan bibit, benih, pestisida, alat dan mesin; sub sistem proses terdiri dari teknik budidaya; sub sistem output hasil pertanian serta hal terkait seperti pengolahan pangan dalam suatu kegiatan industri (agroindustri);  sub sistem pemasaran hasil pertanian berupa informasi pasar, kegiatan promosi, pengaturan distribusi, kerjasama perdagangan, dan kelembagaan pemasaran. Sedangkan sub sistem penunjang terdiri dari regulasi pemerintah, penyediaan lembaga pendukung seperti pembiayaan dan lembaga riset pertanian.

Kedaulatan Pangan

Ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan telah menjadi konsen pemerintah setelah ditetapkannya UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan yang merupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya UU No 7 tahun 1996. Menurut UU tersebut Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Sedangkan Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Amanat UU tersebut tentu tidaklah ringan jika melihat realitas di lapangan pada aspek ketersediaan yaitu masih rentannya swasembada beras, juga ketergantungan sangat tinggi pada impor beberapa komoditas seperti kedelai, gula, daging, susu, gandum, hingga garam. Ketahanan pangan tidak hanya pada masalah ketersediaan bahan pangan, namun juga pada aspek distribusi dan akses pangan. Dua hal terakhir juga menghadapi kendala yang tidak ringan, yakni berhubungan dengan infrastruktur transportasi, monopoli pasar dan daya beli masyarakat. Masyarakat miskin menjadi golongan yang paling berat menerima dampak dari ketimpangan ketidakadilan distribusi pangan dan ketidakmampuannya daya beli mereka.

Ketahanan pangan juga berbicara mengenai pangan yang aman, bermutu dan bergizi. Lantas bagaimana realisasinya, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996) yang menyatakan Pangan merupakan Hak Asasi Manusia?

Pemberdayaan Petani

Pemberdayaan petani merupakan suatu proses pembangunan pertanian dengan menempatkan petani sebagai agen atau subyek pembangunan. Petani bukan penerima manfaat atau obyek, namun mereka subyek yang berperan sebagai motor penggerak pembangunan pertanian. Kata kunci dari pemberdayaan petani adalah partisipasi mereka dalam proses kegiatan pertanian untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri mereka.

Tema HPS 35 yang mengangkat isu pemberdayaan petani tentu sangat relevan namun harus diikuti dengan langkah-langkah konkrit yaitu keberpihakan (political will) pemerintah dengan menyiapkan segenap sarana dan prasarana baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung, dari yang sifatnya teknis seperti perbaikan teknik dan metode, hingga non teknis seperti dukungan pembiayaan/permodalan usaha mereka. Pada akhirnya kondisi tersebut akan meningkatkan nilai tambah produk pertanian, meningkatkan daya saing dan posisi tawar petani, yang pada akhirnya meningkat pula kesejahteraan petani. Keberpihakan kepada ekonomi rakyat yang diusung pemerintah ditunggu realisasinya.

*) Agus Suyanto, STP, MSi,

Penulis staf pengajar Program Studi Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS).

Watch this video to eduessayhelper.org learn more about this new feature.